SELAMAT DATANG DI BLOG JISTRA (Jaringan Islam Transformatif) - UPAYA UNTUK MENEBARKAN ISLAM YANG KONTEKSTUAL, TOLERAN, MENGHARGAI TRADISI, PROGRESIF, DAN MEMBEBASKAN - TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA

Blandongan: Membumikan Nilai Luhur Ahlu Sunnah wal Jama’ah

| Label: | Posted On Rabu, 16 Desember 2009 at 17.49

Oleh : Ahmad Zainul Anam, S.Hi

Blandongan merupakan komunitas yang heterogen. Warung yang memeliki motto “selamatkan anak bangsa dari kekurangan kopi” ini merupakan wadah dan tempat berkumpulnya komponen masyarakat. Siswa—entah yang rajin atau mbolosan, mahasiswa—baik akifis maupun “anak mami-kos”, bisnisman—yang sukses maupun bangkrut, santri—baik yang sami’na wa atha’na maupun sami’na wa ‘ashoina, bahkan pejabat yang eksklusifpun, semuanya tumpleg bleg di warung kopi ini, menikmati “situasi kopi”.

Kemajemukan ini meniscayakan bervariannya topic pembicaraan, karakter, perilaku, bahkan Ideologi peziarah Blandongan. Sebagai konsekuensinya, keadilan, kesetaraan, keseimbangan, dan toleransi menjadi sebuah keniscayaan; untuk membuat suasana tetap harmonis dan damai. Mau tidak mau, ikhlas tak ikhlas, itulah yang mesti dilakukan.

Uniknya, meski Blandongan tidak mendeklarasikan diri sebagai warung kopi berasas ahlu as-sunnah wa al-jama’ah, namun, nilai-nilai universal dari “madzhab” ini telah terejawantahkan dengan baik, bahkan nyaris sempurna. Artikel ini akan berusaha menerjemahkan nilai tersebut;


‘Adalah (Keadilan)


Nilai ini begitu penting dalam kehidupan. Ia merupakan nilai yang mesti terealisir dalam tiap dimensi kehidupan; sosial-kemasyarakatan, dunia pendidikan, politik, budaya, lingkungan kerja, keluarga, bahkan warung kopi pun harus mengedepankan nilai luhur ini.

Blandongan, tampaknya begitu memperhatikan ajaran ini. Berapapun tebal dompet Anda, betapa mewahpun penampilan Anda, meskipun Anda berdarah biru, atau hijau sekalian, betapa “sangar” tattoo anda, tidak akan mendapat perlakuan istimewa dari crew. Anda tidak akan diGus-guskan—meminjam istilah pesantren. Anda akan diperlakukan sama seperti lainnya. Inilah keadilan itu.


Musawwah (Kesetaraan)

Sebagai kelanjutan dari konsep keadilan, musawwah (kesetaraan) berbanding lurus dengan keadilan. Semakin adil sebuah kebijakan, semakin tinggi nilai kesetaraan yang diterjemahkan.

Menilik Blandongan, nilai ini telah terwakili oleh konsep bangunan yang berdiri kokoh—meski tidak permanen. Tidak seperti di lain tempat, warung kopi ini sangat mengilhami kesetaraan. Anda tidak akan menemukan terminology VVIP, VIP, biasa, atau, bahkan kelas ekskutif, bisnis atau ekonomi. Semua tempat sama; istimewa-sederhana. Semua setara!


Tawazzun (Berimbang)

Keberimbangan dalam relasi social-kemasyarakatan merupakan nilai yang sentral untuk membentuk harmoni kehidupan. Pembagian hak dan kewajiban dengan seimbang (proporsinal) merupakan “syarat wajib” bagi siapapun yang menghendaki kebijaksanaan.

Di warung kopi yang identik dengan bengok-bengok crew pengantar pesanan ini, anda akan menemukan keseimbangan itu. Anda tidak akan pernah kecewa karena biaya yang anda keluarkan terlampaui tinggi, hanya sekedar untuk secangkir kopi dan ubo rampe-nya. Di sini, harga yang terbayarkan cukup seimbang dengan kepuasa yang didapatkan. Bahkan, anda akan mendapatkan kepuasan yang lebih, dengan harga yang relatif murah.


Tasammuh (Toleransi)

Indonesia harus belajar banyak dari “masyarakat” Blandongan. Akhir-akhir ini, nilai luhur toleransi telah tergerus oleh aksi oknum yang tidak bertanggung jawab. Budaya luhur yang telah tertanam lama dalam tradisi bangsa, telah luntur oleh “pendekar” berwatak jahat.

Dalam konteks Blandongan, toleransi merupakan sebuah keniscayaan. Masyarakat yang tergabung dalam komunitas kopi tepi rel ini, selalu nguri-uri nilai istimewa tersebut. Sikap ini bukan tidak beralasan. Begitu bervariannya “masyarakat” Blandongan, yang tercermin dari penampilan, vokal pembicaraan, tingkah laku, dan aktivitas yang dilakukan mewajibkan mereka untuk bersama-sama menjunjung tinggi toleransi. Realitas inilah yang menjadikan mereka dewasa dan toleran.

Uniknya, nilai-nilai luhur; keadilan, kesetaraan, keseimbangan, dan toleransi mengalir baik dan begitu alamiah, dibangun tanpa komando. Dengan menafikan pengilhaman dan pengaktualisasian nilai ini, eksistensi Blandongan: wallahu a’lam bi showab.